Madrasah
Diniyah pertama kali muncul di Indonesia
pada tahun 1915 yaitu ketika Zainudin Labai seorang tokoh pembaharu pendidikan
mendirikan sebuah madrasah dengan nama
Diniyah School di daerah Minangkabau. Madrasah ini merupakan
pengembangan dari sistem tradisional yang dilaksanakan di surau-surau menjadi
sistem klasikal.[1]
Dalam
perkembangan selanjutnya sistem madrasah ini diambil oleh pondok-pondok pesantren sehingga hampir seluruh
pondok pesantren di Indonesia menggunakan sistem madrasah disamping sistem lama
yang masih dipertahankan.
Selanjutnya
sekarang ini, banyak didirikan madrasah diniyah di luar pesantren dengan tujuan
untuk memenuhi kekurangan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum,
madrasah-madrasah diniyah tersebut ada yang di bawah pembinaan Kementerian
Agama dan ada yang dikelola swasta dengan menggunakan kurikulum sendiri.
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Madrasah Diniyah dapat digolongkan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Madrasah
Diniyah di bawah naungan Pondok Pesantren;
b. Madrasah
Diniyah di bawah pembinaan Kementerian Agama.
c. Madrasah
Diniyah swasta di luar pondok Pesantren.
Sedangkan
untuk tingkatan kelas dalam madrasah diniyah hampir sama dengan tingkatan
sekolah pada umumnya yaitu:
a. Tingkat dasar
dinamakan diniyah awwaliyah atau ula dengan
masa belajar selama 4 tahun.
b. Tingkat
menengah dinamakan diniyah wustha
dengan masa belajar selama 3 tahun.
c. Tingkat atas
dinamakan diniyah ‘ulya dengan masa
belajar 3 tahun.[2]
Adapun
fungsi yang diemban oleh madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam menurut An
Nahlawi, sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin dan Mujib adalah sebagai
berikut:
a.
Merealisasikan
pendidikan Islam yang didasarkan atas
prinsip fikir, akidah dan tasyri’ yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
b.
Memelihara
fitrah anak didik sebagai insan yang mulia, agar ia tidak menyimpang dari
tujuan Allah menciptakannya.
c.
Memberikan
kepada anak didik dengan seperangkat
peradaban dan kebudayaan Islami, dengan cara mengintegrasikan antara imu-ilmu
alam, ilmu sosial dan ilmu eksakta dengan landasan ilmu agama, sehingga anak
didik mampu melibatkan dirinya kepada perkembangan Iptek.
d.
Membersihkan
pikiran dan jiwa dari pengaruh subyektifitas (emosi).
e.
Memberikan
wawasan nilai dan moral serta peradaban
manusia khasanah pemikiran anak didik menjadi berkembang.
f.
Menciptakan
suasana kesatuan dan kesamaan antar anak didik.[3]
Fungsi-fungsi
tersebut mencerminkan madrasah pada umumnya, yaitu madrasah yang mengajarkan
juga ilmu-ilmu umum baik tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah maupun aliyah.
Sedangkan
untuk Madrasah Diniyah mempunyai fungsi khusus karena hanya mengajarkan bidang
agama, sehingga fungsi pengembangan Iptek tidak dapat dilaksanakan. Adapun
fungsi Madrasah Diniyah secara umum adalah sebagai berikut:
a. Membina
perkembangan kepribadian anak
b. Memberikan
tuntunan dan pembinaan kesejahteraan anak yang diperlukan pada masa mudanya
c. Memberikan
pendidikan keagamaan pada anak agar diamalkan bagi diri anak dan dicontohkan
kepada orang lain
d. Membantu rumah
tangga/keluarga untuk memenuhi kebutuhan anaknya
e. Membantu
meningkatkan dan memajukan keluarga dan masyarakat
f. Membantu dalam
peningkatan pendidikan agama pada sekolah umum
g. Memberi
pendidikan dan tuntunan kepada anak dalam kependudukan dan lingkungan hidup.[4]
[2] Karel Steen Brink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 167-168 74
[3] Muhaimin dan Abd.
Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam :
Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda
Karya, 1993), hal. 307. 75
[4] Depag RI, Standarisasi
Pengajaran Agama di Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, 1983/1984), hal. 15.
0 komentar:
Posting Komentar